JISHIN
“Grek! Grek!” setengah mimpi kurasakan apartemen di lantai lima bergoyang. Pelan, tapi makin lama makin keras. Rak piring dan gelas berderak-derak, panci yang menempel di dinding menimbulkan suara-suara gaduh. Beberapa barang kudengar berjatuhan.
“Gempa lagi nih. Besar amat?” segera aku bangun. Khawatir dan takut. Kulirik jam, “Uh, sudah jam enam. Subuhku telat lagi.”
Tak lama kemudian, gempa berhenti. Ya, gempa-gempa susulan selama hampir dua bulan ini sudah menjadi santapan sehari-hari.
“Hiposenternya dimana, yah? Berapa skala richter sih, kok berasa banget?”
Masih agak deg-degan, kuraih laptop dan membuka peta hiposenter gempa di homepage volcano observatory. Keren juga universitas di sini. Peta dan rekaman gempa bisa dilihat langsung di internet.
“Hah!” lingkaran merah besar hiposentrum sudah masuk daratan. Gempa pertama kali berada jauh dari daratan. Kini sudah mulai masuk, dan semakin mendekati kota tempat tinggalku. Mouse kugerakkan lagi, membuka link daftar kekuatan gempa.
“Kring!”
“Ups!” aku terkejut, saking seriusnya. Segera kuraih hp yang sengaja diseting kring. Kuno, tapi tidak ada yang sama. Daripada bingung kalau ada bunyi hp bersamaan.
“Haik. Moshi-moshi,” kataku.
“Ded, kok masih ada gempa?”
“Ye..kok protes sih? Emang siapa yang bikin gempa,” kataku sewot.
Suara Ridwan sesama mahasiswa Indonesia yang sama-sama terdampar di pulau ini tampak khawatir.
“Barusan besar sekali ya? Kemarin-kemarin nggak begini besar,” katanya pelan.
“Nggak tahu juga. Aku lagi lihat di peta hiposenter gempa nih.”
“Masih ada lagi nggak, Ded?”
“Ini lagi, pertanyaan nyebelin. Denger yah, aku tidak tahu apa-apa yang akan terjadi berikutnya. Ingat!” Bukan sekali dua kali, orang-orang selalu bertanya padaku prediksi gempa-gempa berikutnya. Mana aku tahu?
“Kali aja, kamu kan penelitiannya gempa.”
“Aduh..berkali-kali aku bilang, kata sensei belum ada metode yang tepat bisa memprediksikan gempa, Ridwan!” jengah juga aku mengulang-ukang kata-kata ini. Tiap kali ada yang tanya, selalu ini jawabanku.
“Terus gimana dong?”
“Ya, biasa aja, emang mau ngapain? Sudah ah, doa aja banyak-banyak. Belum sholat Shubuh nih. Kebelet pula..” kututup hp tanpa salam dan lari ke toilet.
“Ya Alloh, semoga hambaMu ini meninggal dalam keadaan khusnul khotimah,” doaku singkat setelah sholat yang juga kilat. Segera kuambil laptop lagi. Penasaran dengan kekuatan gempa barusan. Kubuka link tabel kekuatan gempa. “Oh, 5,7 skala richter.” Seperti ini yah, rasanya 5,7 SR dengan posisi hiposenter berjarak 10 km dari tempat berpijak. Tadinya kupikir hampir 7 SR. Kubaca hasil rekaman sebelumnya, ini memang yang terbesar selama hampir sebulan lalu. Kembali kubuka link peta hiposenter, kuperhatikan noktah-noktah merah itu. Semakin mendekati daratan. Walaupun, semakin mengecil. Namun, bagaimana kalau tiba-tiba besar? Seperti pagi ini? Ah, sudahlah. Yakin, tidak akan terjadi apa-apa, kubuka Kompas online. “Hah? Jakarta gempa setelah beberapa hari lalu Bandung diguncang? Oh..dimana-mana gempa. Apakah kiamat semakin dekat?” tak habis pikir aku mendengar gempa dimana-mana sejak tsunami Aceh.
****
Suara adzan di komputer menghentikan sejenak pelototanku pada seismogram yang seperti sandi rumput. Kuambil bento makan siang dan berjalan ke ruang senat mahasiswa asing, tempat biasa diadakan sholat dhuhur jamaah. Disamping sholat jamaah, di sana biasanya bertemu dengan teman-teman Indonesia yang hanya beberapa gelintir. Rata-rata sudah berkeluarga. Hanya aku dan Ridwan yang bujang.
“Rid, sholatnya khusyu’ amat?” celutukku iseng sambil mengunyah ayam goreng.
“Kira-kira masih ada gempa lagi nggak, Ded?”
“Hmm, hiposenternya sih semakin mendekati daratan. Ke arah kota, Rid. Tapi kekuatannya menurun. Nggak tahu juga ya, kalau tiba-tiba besar.”
“Kemungkinannya berapa persen? Dan sampai berapa parahnya?”
“Mana aku tahu.”
“Aku takut sekali, Ded.”
“Hah? Takut? Ha..ha..santai saja, Rid.”
“Aku..takut mati,” kata Ridwan pelan.
Aku terhenyak.
“Ah, kebetulan ada Dedi,” Pak Sigit, dosen teknik sipil sebuah universitas di Jawa, yang sedang S3 disini memutusku untuk terus tercenung memikirkan perkataan Ridwan..
“Eh, ada apa, Pak?”
“Gimana nih, kabar gempanya?” tanyanya sambil membuka bento makan siangnya. Kulirik di dalamnya. Lengkap. Ikan bakar, salad, trus apalagi itu dihias-hias model Jepang. Ngiler dah..Enaknya sudah punya istri, ada yang nyiapin bento. “Kira-kira ada lagi, nggak?” tanya Pak Sigit lagi, mengagetkanku yang sedang mengagumi isi bentonya.
“Aduh, kurang tahu, Pak,” lagi-lagi pertanyaan itu.
“Belum bisa memastikan yah?”
“Kata sensei sih, belum ada metode yang tepat memastikan kapan terjadinya gempa. ” tahu deh, orang bosan nggak mendengar aku ngomong seperti itu.
“Oh, begitu. Yah, biar manusia nggak sombong ya.”
“Penelitian sekarang adalah mempelajari karakteristik sebelum dan sesudah terjadinya suatu gempa. Bila pola itu sudah ditemukan, barulah bisa untuk memprediksi secara tepat, kapan gempa akan terjadi, Pak.”
“Eh, Dedi tinggal di apartemen lantai berapa?” Pak Sigit malah bertanya diluar topik.
“Lantai lima, Pak.”
“Gedungnya cuma lima lantai?”
“Iya.”
“Wah..bahaya itu.”
“Maksudnya?”
“Bangunan di Jepang ini, kalau hanya tingkat lima tidak ada kontruksi anti gempanya lho.”
“Oh ya?” kataku tertarik.
“Biasanya lantai sembilan atau sebelas yang ada.”
“Dipasang dimana, Pak?”
“Pondasi. Beton yang biasa dipasang di pondasi diganti oleh semacam roda-roda besi. Ini bisa membuat lebih elastis terhadap gerakan dari dalam bumi. Memang kalau gempa lebih terasa ayunannya, tapi lebih tahan rubuh,” Pak Sigit berkata panjang lebar.
“Oh, gitu ya, Pak. Saya baru tahu lho.”
Pak Sigit mengangguk-anggukan kepalanya. Kita meneruskan makan dalam diam.
“Okey, makasih informasinya,” kata Pak Sigit sambil minum dari sebuah gelas. Eh..apa itu? Kok seperti kotoran? Banyak sekali daun-daunan di dalam gelas.
“Wah..saya nggak bisa meninggalkan teh tubruk,” Pak Sigit seperti mengerti jalan pikiranku.
“Oh, teh tubruk ya, Pak?” kataku tersenyum. Ah, kalau yang ini mah nggak kepengin. Bukan selera anak muda.
“Saya ke lab lagi. Ayo, Dedi, Ridwan. Eh, kapan-kapan main ke rumah lagi. Mamanya Rifqi senang kalau ada yang mau menghabiskan masakannya,”
“Eh..iya-iya, Pak. Insya Alloh,” kataku semangat. Semoga nanti dimasakkan ikan bakar.
Kutengok Ridwan yang masih tepekur. Dia menyimak semua percakapanku dan Pak Sigit tanpa komentar. Kulanjutkan lagi percakapan dengan Ridwan yang terputus.
“Rid, aku memang tak begitu mengkhawatirkan gempa, tapi bukan berarti aku siap mati. Kalau ingat mati, akulah yang seharusnya lebih takut.”
“Kenapa?”
“Karena dibandingkan kamu, ibadahku masih jauh.”
“Kata siapa? Nggak bisa dong kamu bilang gitu?”
“Kataku sendiri. Ah, sudahlah. Yuk ke lab lagi. Bisa dipelototin Nakamura sensei aku istirahat makan siang kelamaan,” kataku. Nakamura sensei bukan pembimbingku. Dia asisten, tapi melebihi sensei dalam mengawasiku. “Hemm, datangnya siang sekali,” katanya kalau aku kesiangan. Belum lagi suka curi-curi lihat layar komputerku. Kali ingin memastikan, aku ngolah data beneran atau browsing aneh-aneh. Di kampus nggak berani baca email deh, apalagi chatting. Bahaya. Bisa dipecat aku dari sini.
Beriringan naik sepeda kita menuju ke lab.
“Eh..eh..” Bumi berguncang lagi. Sepeda kami oleng.
“Astaghfirulloh. Innalillahi..” Ridwan berkali-kali menyebut nama Alloh. Kulihat wajahnya pucat.
“Nggak papa, Rid. Hanya gempa kecil dan sebentar,” kataku menenangkan. Ah..gempa seperti ini sih, tidak membuatku takut.
“Sudah siap mati, Ded?” kata Ridwan setelah sepeda berjalan normal kembali.
“Eh?!” kataku kaget. Tidak menyangka akan ditanya seperti itu. Aku kan tadi sudah bilang, belum siap mati. Kenapa pula si Ridwan nanya lagi?
“Belum,” kataku pelan.
Aku jadi teringat peristiwa dua bulan lalu, saat gempa besar terjadi. Waktu itu, kita sedang party. Tiba-tiba ruangan berguncang. Semakin lama semakin keras. Antara kaget dan takut menjadi satu. Segera pikiranku melayang ke tsunami Aceh. Ya, Alloh, akankah aku Kau panggil sekarang? Di saat seperti ini? Di sebuah pesta, minuman keras dan makanan haram campur jadi satu? Aku benar-benar ngeri membayangkan semua itu. Tentulah nanti jasadku tidak akan wangi seperti korban-korban Aceh yang kubaca di koran. Tentulah, orangtua dan saudara tidak akan memimpikanku berada dalam taman syurga, seperti mimpi seorang suami yang ditinggal pergi oleh istrinya yang sholihat. Tentulah…Astaghfirulloh..Allohu la illa ha illa huwa…ayat kursi bergetar keluar dari mulutku. Kupejamkan mata rapat-rapat. Ah..aku sebenarnya belum siap Kau panggil ya, Alloh. Berilah aku kesempatan untuk hidup di dunia lagi. Doaku dari hati yang paling dalam.
Piring, gelas, botol-botol minuman berjatuhan. Menimbulkan suara yang sangat mencekam di antara bunyi dinding-dinding yang berderak Namun rupanya Alloh masih berkenan mengabulkan doaku. Pelan-pelan, guncangan berkurang dan berhenti sama sekali. Kita bergegas keluar ruangan dari lantai sebelas ini. Lift macet. Dalam diam, masih dalam suasana mencekam, kita turun tangga. Tak sabar rasanya ingin menginjak tanah.
Keesokan harinya, berita gempa menjadi obrolan di lab.
“Syukurlah, gempa hanya sebentar. Kita semua selamat,” kata Matsuo san.
“Ee,” jawabku pelan.
“Kamu pucat sekali waktu itu?”
“Kupikir aku akan mati,” jawabku hampir tak terdengar.
“Apa? Ha..ha..” Matsuo san tertawa terbahak-bahak. Mengundang perhatian teman-teman lainnya.
“Ada apa?”
“Dedi san, sudah mikir mau mati saat gempa,” katanya disusul derai tawa semua temanku.
“Kalian tahu tsunami Aceh? Itulah yang ada dalam bayanganku?” kataku nggak suka. Mereka hanya melihat dari televisi Jepang tentang Tsunami Aceh. Saat gempa jelas nggak mungkin mikir sampai kesana. Sedangkan aku? Setiap saat selalu memantau berita itu.
“Oh, maaf,” Matsuo san minta maaf.
“Nggak. Nggak papa,” kataku nggak enak juga kelihatan emosi.
Sejak itu, intensitas ibadahku meningkat. Sholat selalu kuusahakan tepat waktu. Disertai dzikir panjang. Bila jadwal tidak begitu padat, kesempatkan membaca Al Quran. Kalau dulu mah boro-boro.. Tapi bertahan lamakah?? Sejak gempa itu, seluruh lab sibuk. Alat perekam seismik dipasang dipelbagai tempat. Setiap hari, mau tidak mau harus ikut ke lapang. Sepulang dari lapang harus segera mengolah data. Badan capai, pikiran penat lama-lama mengurangi kekhusyukan ibadah. Belum lagi, rekaman-rekaman itu menunjukkan tidak akan terjadi apa-apa lagi, membuatku merasa semakin tenang. Maut telah menjauh lagi. Astaghfirulloh.
“Yuk, Ded aku belok, assalamu’alaikum,” tak sadar rupanya sudah hampir sampai lab.
“Eh, iya” kataku kaget. Aku telah melamun sepanjang jalan “Wa’alaikumussalam.”
Ah, Ridwan begitu mempersiapkan dirinya untuk mati. Sedangkan aku? Rekaman-rekaman seismik itu seharusnya lebih mendekatkanku juga. Bagaimanapun ada kemungkinan terjadi gempa lebih besar dari dari yang pertama. Dan jauh lebih berbahaya karena hiposenternya berada di tengah kota. Kenapa aku lupa satu hal ini?
****
“Istirahat, dulu. Makan siang!” sensei teriak kepada kita semua yang masih berkutat dengan seismometer. Segera kita masuk mobil dan pergi ke swalayan terdekat. Aduh, bosan aku setiap siang makan onigiri yang itu-itu saja. Onigiri lainnya tidak halal. Apalagi makanan selain itu.
“Dedi san, nggak oinori?” tanya sensei. Biasanya selesai makan, aku sholat dulu. Tapi masuk musim panas ini, Ashar jam empat sore. Biasanya kita sudah sampai kampus jam tiga. Masih ada waktu untuk sholat di kampus, pikirku. Suka malas aku sholat pada dipelototin sambil bisik-bisik. Seperti tontonan aja.
“Nanti saja, sensei.”
“Oh, bisa ya?” kata sensei bingung tapi tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin dia juga sungkan.
“Iya,” kataku singkat.
Kita pun melanjutkan memasang alat-alat. Aku sendiri asyik dengan pekerjaanku tak peduli dalam keadaan belum sholat padahal ada waktu. Tiba-tiba kurasakan ada gempa, makin lama makin besar.
“Dedi san, lari ke atas. Jishin! Jishin!” Sensei berteriak menyuruh kita semua lari menjauh dari laut.
“Hah?” Tak penah kubayangkan gempa terjadi saat di lapang seperti ini. Segera kutinggalkan alat-alat itu. Sebagian tampak berjatuhan. Sempat kulihat kenaikan amplitudo yang sangat drastis. Entah..berapa skala richter gempa kali ini. Aku segera lari menjauhi laut. “Sensei, ayo!” teriakku pada sensei mengajak lari ke atas.
“Itu Matsuo san masih di sana. Sudah sana kamu lari duluan,” Sensei benar-benar bertanggungjawab dengan anak buahnya. Segera aku pun berlari meninggalkan sensei dan Matsuo san yang masih di belakang. Panik. Ya Alloh, lagi-lagi aku merasa belum siap. Dan memang aku selalu tidak mempersiapkan diri dengan baik. Aku berjanji akan berbuat lebih baik lagi…aku akan…semua janji-janji kuucapkan dalam hati, memohon agar nyawaku jangan dicabut sekarang. Berbagai penyesalan masa lalu membuat pikiranku kacau, aku justeru berlari ke sebuah tempat berteduh berupa bangunan dari beton, bukan tempat kosong.
“Dedi san, kesini!” Sensei berteriak sambil melambaikan tangan. Terlambat. Tiang-tiang tak kuat menahan gempa. Atap rubuh. Kurasakan nyeri yang amat sangat. Pandanganku gelap..gelap.. Ah..hanya sampai disini rupanya umurku. Takut …Sepintas kulihat sensei berlari ke arahku, “Dedi..!!”
*****
“Oh..dimanakah aku sekarang? Apakah tengah menanti hisab?”
Lamat-lamat kudengar orang bercakap-cakap. Lho..kok bahasa Jepang? Masih hidupkah aku?
“Ah, Dedi san sadar,” kubuka mata pelan. Samar kutangkap bayangan sensei.
“Syukurlah, sudah siuman. Kamu pingsan selama dua hari,” suara sensei membuatku yakin.
Oh! Aku masih hidup. Alhamdulillah. “Ya Alloh, jagalah hatiku agar selalu taat beribadah kepadaMu,” doaku dengan suasana hati yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Daftar Istilah :
Jishin : gempa
Haik. Moshi-moshi : ya, halo
Sensei : guru
Bento : bekal makan
Onigiri : nasi kepal Jepang
Oinori : sembahyang
0 komentar:
Posting Komentar